[JAKARTA] Upaya pengendalian dan pengurangan polusi emisi karbon perlu diimbangi dengan laju penggunaan bahan bakar fosil. Untuk itu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sedang mengembangkan biodiesel generasi 1,5 dan dua untuk menghindari kompetisi pangan sebagai bahan bakunya.
Di sisi perekayasaan teknologi biomassa yang nantinya akan menghasilkan biodiesel, atau bioetanol itu, BPPT sudah mengembangkan riset teknologi biodiesel generasi pertama, bahkan sudah mampu menghasilkan biodiesel dari minyak kelapa sawit 20.000 kiloliter per tahun.
Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT MAM Oktaufik mengatakan untuk mengkomersialisasikannya sebagai percontohan hingga menghasilkan lebih dari 40.000 kiloliter per tahun butuh dukungan pemerintah dan swasta.
"Biodiesel ini merupakan alternatif baru mengganti BBM, lebih ramah lingkungan, mengurangi polusi dan dampak polusi misalnya orang sakit karena polusi. Tantangannya ada di sisi industrialisasi, teknologi karya anak bangsa sudah bagus, hanya ada keterbatasan dukungan," katanya di sela Lokakarya II Pengembangan dan Perekayasaan Teknologi Biodiesel 2011, di Jakarta, Rabu (16/11).
Biodiesel hydrotreating atau generasi 1,5 dan generasi kedua ini adalah pemanfaatan biomassa melalui berbagai proses liquifaksi dan gasifikasi untuk menghasilkan produk seperti bahan bakar diesel, kerosin dan premium.
Sedangkan teknologi biodiesel generasi pertama yang sudah dibuat BPPT sejak tahun 2000 ini dibuat dengan mengkonversi minyak nabati menjadi biodiesel dengan by product gliserol di sejumlah lokasi seperti Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera.
Sementara itu untuk pengembangkan bioetanol, Brazil seharusnya bisa menjadi contoh negara yang sukses mengembangkan bioetanol dari tebu sejak tahun 1980an. Indonesia pun di tahun yang bersamaan mengembangkan bioetanol dari singkong beracun di Lampung, namun terbengkalai karena muncul alasan bahwa cadangan minyak Indonesia masih berlimpah.
Padahal lanjut Oktaufik, untuk potensi biodiesel selain dari minyak sawit, bisa juga dihasilkan dari puluhan biji-bijian seperti jarak dan nyamplung. Sekilo jarak menurutnya bisa dijual seharga Rp 25.000 dan menghasilkan sepertiga liter biodiesel. Sedangkan untuk menghasilkan 1 liter biodiesel, jarak dihargai Rp 75.000. Sayangnya masyarakat belum melihat potensi ini dan perlu keberlanjutan budidaya tanaman jarak.
Kepala Balai Rekayasa Disain dan Sistem Teknologi BPPT Adiarso menjelaskan pembuatan biodiesel generasi kedua itu nantinya tidak lagi menggunakan minyak kelapa sawit tetapi menggunakan limbah tandan kosong kelapa sawit, limbah kayu dan sekam padi.
"Keunggulan generasi kedua, teknologi katalis yang dipakai bisa menghasilkan beragam jenis produk seperti solar, bensin, kerosin (minyak tanah) dan tinggal memilih jenis mana yang lebih dominan," jelasnya.
Sedangkan generasi 1,5 masih menggunakan bahan baku minyak sawit namun dapat menghasilkan kerosin dan jetfuel (bahan bakar pesawat). [R-15]
0 komentar:
Posting Komentar